Senin, 22 Desember 2014

Seni Berpakaian

Saya bukan orang yang punya selera fashion bagus untuk diterapkan pada diri sendiri, begitu menurut Ibu saya. Sebagai orang yang tumbuh dan berasal dari dimensi waktu ’60, tentu akan sulit menyamakan selera dengan yang berasal dari era ’90. Seringkali kami masih suka bertengkar dengan selera masing-masing, berargumen bahwa atasan ini tidak cocok dengan bawahan itu, berpendapat sampai nada meninggi seolah-olah selera adalah sesuatu yang telah diatur dengan mutlak: seharusnya begini.
I used to be a dark skinned girl when I was elementary school, eh, sampai sekarang sih. Tapi dulu adalah masa tergawat di mana saya harus pilih warna baik-baik agar tak dipandang sebagai sesuatu yang menyala dalam gelap. Mencoba berpakaian biru terang adalah kesalahan terbesar yang saya ingat. Kakak dan Ibu saya sering kesal melihat saya memakai itu, terlalu mencolok seperti apa (saya juga tidak tahu apa itu maksudnya apa), tak enak dilihat, dan perkataan lainnya yang membuat saya minder dan seolah warna kulit seperti yang saya punya hanya ditakdirkan untuk beberapa warna pakaian saja. Jadi selama bertahun-tahun, saya hidup dengan menerapkan kehati-hatian tak hanya saat akan menyeberangi jalan raya, tapi juga dalam hal berpakaian.
Bergerak ke arah dewasa, saya semakin tertarik menjelajahi dunia maya dan mengamati bagaimana perkembangan fashion dan selera berpakaian orang-orang dari waktu ke waktu. Tak ada yang menduga bahwa fashion bisa seajaib ini. Ini menarik, bagaimana gaya berpakaian yang di satu masa hanya dipakai oleh anak-anak cupu, lalu di masa selanjutnya juga dikenakan dan jadi tren di kalangan lainnya. Bagaimana sesuatu yang enak dipandang, bisa disulap dengan padu-padan yang eksentrik tapi justru kuat nilai seninya. Jadi, menurut saya selera fashion adalah hal yang layak dijadikan sebagai bahan permainan, tantangan untuk mencoba hal-hal baru. Mencoba tren berpakaian baru, juga warna-warna baru. Berpakaian bukan lagi sekedar kebutuhan primer untuk menutupi anggota tubuh. Beberapa yang saya tahu, berpakaian bahkan naik tingkat menjadi media eksperimen untuk pencarian jati diri. Idealisme. Mencari titik kenyamanan atau justru mencoba keluar dari zona nyaman. Dua-duanya melibatkan proses yang sama-sama menarik, lebih menarik dari sekedar memilih warna apa yang sesuai dengan kulit kita. Perempuan-perempuan itu, pada akhirnya tetap terlihat cantik memakai apapun.
Ditambah lagi, akses internet yang sekarang tersedia di mana-mana. Orang-orang berlayar ke sana-kemari mengunjungi toko-toko online yang menjual keperluan fashion untuk menunjang penampilan. Tren berbelanja online juga sedang menjamur. Beberapa saling bersaing harga dan kualitas. Salah satunya, saya coba jalan-jalan ke salah satu situs fashion olshop di Indonesia yang sudah punya nama besar, Zalora. Menggembirakannya, banyak potongan harga di sana-sini dan situs tersebut menyajikan banyak sekali fashion item yang beberapanya sudah pasti ada dalam wishlist jutaan umat. Terlebih, untuk yang berhijab seperti saya, tak perlu lagi kerepotan mencari pakaian yang sedang in tapi dengan budget terbatas. Di sini, Zalora bersama Zoya menyediakan berbagai pilihan pakaian dan lain-lain untuk menunjang penampilan bagi yang berhijab. Tak seperti olshop dengan brand ternama lainnya, menurut pengamatan saya, Zalora menyediakan yang harganya lebih miring, namun dengan kualitas dan brand yang sama. Pintar-pintar memilih, pintar-pintar menemukan.
Sudah hampir 2015. Dan berpakaian, tak lagi harus sesulit dulu.

Selasa, 09 Desember 2014

Padma Raksasa

“Kita bisa saling menjaga agar tak binasa, bukan?”
Aku harap, begitu. Sepertinya sampai detik ini kita masih sama. Masih padma raksasa yang berjajar langka di balik pohon-pohon pinus yang tinggi menjulang. Masih bebas dari jerat keuntungan pribadi manusia. Dua di antara sekian banyak yang tersebar langka, kita adalah yang memiliki jarak pandang terdekat dengan satu sama lain. Di hutan-hutan yang tak kita ketahui berapa banyaknya di luar sana, mungkin hanya ada satu Rafflesia Arnoldii yang mekar sendiri. Berjuang tanpa teman bicara setiap hari.
 “Tak capai kau mendongak?”
Pertanyaan apa lagi. Aku bahkan tak bisa membedakan mana muka dan mana belakang muka. Kita memiliki bentuk yang sama, tapi interpretasi yang berbeda. Menurutku, bertahun-tahun kita menganga lebar. Sementara menurutnya, bertahun-tahun kita mendongak ke atas. Berusaha melihat apa yang para pucuk pinus lihat. Langit biru dan awan-awan yang berarak sejajar itu, bertahun-tahun pula, tak pernah menjadi lebih dekat dengan kita.
Nah, tak capai kau menganga?” aku bertanya balik.
Dia tertawa. Tanaman yang bentuknya persis sama denganku itu tertawa. Sedikit aneh sebab ia tak memiliki muka dan bibir yang bisa ditarik ulur untuk merautkan susah atau senang, tapi aku begitu tahu kalau di sedang tertawa. Sementara aku, tersenyum pun susah.
Keluhku selalu ada di mana-mana.
Tentang kenapa aku (dan dia) tak memiliki batang dan daun. Tentang kenapa kita tumbuh di tempat yang begitu jauh dan tak bisa serumpun ramai-ramai bersama. Tentang malam-malam yang hening bersama jangkrik dan serangga lain—yang besoknya telah binasa sebab kusantap nikmat. Ya, memang, kenyang pun aku mengeluh. Juga tentang ketidakmampuan kita bergoyang-goyang ketika angin berdesir ke arah kita. Diam stagnan, betapa sombong.
“Tapi kita cantik begini adanya”, pernah dia berkata seperti itu. Aku tak tahu harus merespon apa, aku belum pernah berkaca. Memiliki pun tidak.
Tetapi, benar juga. Setiap kali kulihat dia, aku menebak-nebak seperti itu pulalah penampakan tubuhku. Minoritas. Langka. Tapi mekar cantik di antara mereka yang terlihat sama. Diam anggun, tapi bisa lahap memakan serangga. Tegas bertahan di antara megah dan riuhnya tanaman-tanaman berdaun dan berbatang lainnya. Dicari dan diburu, diliput dan diagungkan sebab tak biasa. Sebab kami satu di antara sejuta. Kita cantik begini adanya. Hidup tak semudah bagaimana kelihatannya. Tapi bertahan seperti ini pun kita bisa.
Sesekali memikirkan ini, aku tersenyum. Sinar matahari jatuh menimpa kami melalui celah-celah ranting dan dedaunan para pohon pinus.

Jumat, 07 November 2014

Penasaran Lingga


Aku rasa, sudah saatnya para penggila sains mulai merevisi teori tentang rantai makanan. Atau mungkin, pemecahan masalah ini sedikit berkaitan pula dengan eating disorder yang lebih baik ditangani oleh psikolog, seperti yang aku baca di buku Kak Palupi. Atau... pikirannya berlari lebih keras lagi... mungkin jika para peneliti ilmu alam dan kejiwaan tak berselera membuat gebrakan baru seperti yang aku inginkan, masih ada paranormal yang mungkin lebih berkompeten. Seperti yang disaksikan Lingga di televisi, manusia yang memakan pecahan kaca hanya bagian dari atraksi, tak perlu berakhir di meja polisi.
Ada yang membingungkan pikiran Lingga sejak tiga hari yang lalu. Sesuatu yang jawabannya ia cari-cari melalui internet dan buku-buku di perpustakaan. Sudah tiga hari ini, sebuah rasa penasaran yang begitu hebat melanda Lingga. Berdiam diri di perpustakaan sepulang sekolah ternyata tak terlalu membantunya. Dibandingkan terisi oleh buku-buku pelajaran atau ensiklopedia, perpustakaan sekolahnya lebih banyak menyediakan buku-buku cerita yang kertas-kertasnya sudah mulai menguning dengan tepi-tepinya yang keriting seperti pernah ketumpahan air. Beralih pada internet, Lingga mencoba mencari jawaban atas penasarannya.
Biji dimakan ayam.
Ayam dimakan ular.
Ular dimakan elang.
Berhenti sampai di sana.
Alternatif lainnya:
Biji dimakan ayam.
Ayam dimakan manusia.
Berhenti lebih cepat dari yang diperkirakannya.
Tapi manusia juga bisa memakan biji dan tanaman, tak melulu ayam dan ikan-ikanan. Lantas, kenapa papa repot-repot memakan sesuatu yang tak pernah menjadi santapan kami sehari-hari?Pertanyaan-pertanyaan itu masih terus menggantung di kepala Lingga sampai  bocah itu harus merelakan kantuknya tertunda hanya untuk melamunkan berbagai kemungkinan jawaban setiap malam.
Mama dan kakaknya tiga hari ini tak berada di rumah. Pulangnya mereka hanya pada waktu-waktu tertentu: sore hari untuk mandi, lalu pergi lagi; dan ketika malam sudah larut sekali, untuk tidur sebentar dan pagi buta kembali pergi. Begitu seterusnya. Padahal, Lingga ingin sekali memberhentikan Palupi, kakaknya, dan bertanya “Maksud Kakak kemarin apa?”
Palupi, memeluk Lingga dengan erat di dalam kamar tiga hari yang lalu. Pelukan yang membuat kedua lengan Palupi, seolah disengaja menutup telinga Lingga sebagai akses pendengaran.
Di luar gaduh. Beberapa orang berjaket kulit hitam memasuki rumah Lingga ketika ia dan keluarganya sedang menikmati makan malam bikinan Mama. Nasi uduk, ayam goreng, lodeh sayur, dan beberapa kenikmatan lainnya. Dua lelaki berpakaian polisi berjaga di pintu. Mereka menodong senjata dan meneriakkan kata-kata. Gaduh dengan sendirinya meski tak ada baku tembak. Tak ada perampokan, tak ada apapun yang mencurigakan bagi Lingga. Tapi, gerakan mereka begitu gesit, menarik Papa dan memegang tangannya erat-erat. Lingga masih bisa menyaksikannya dengan jelas, ditambah teriakan histeris Mama yang air matanya sudah meluncur deras. Lingga masih bisa menyaksikannya dengan jelas, sebelum Palupi buru-buru menariknya masuk ke kamar. Lingga tahu, ada yang salah dengan papanya, meski ia tak tahu pasti penyebabnya.
“Papa kenapa?”
“Nggak papa Ling, Papa cuma habis makan uang”
Setelah itu, tak ada hal lain yang bisa didengar Lingga selain isak tangis kakaknya.

Selasa, 28 Oktober 2014

Pemikiran Kritis yang Tak Perlu


Saya hampir dua puluh tiga tahun dan tak pernah sejauh ini mengikuti perkembangan politik dengan serius. Alasan mendasarnya, adalah karena politik terlalu memusingkan untuk saya. Walaupun begitu, di sisi lain saya juga menyesal karena keapatisan saya ini membuat saya cenderung tidak tahu banyak tentang hal-hal krusial seputar perkembangan negara sendiri. Malu? Jelas. Tapi, saya mulai lumayan mengikuti koridor politik akhir-akhir ini. Beberapa hal menggugah saya untuk menulis. Postingan ini saya tulis bukan berniat sok benar, sok tahu atau apa. Semua tulisan di sini murni dari pikiran saya yang dangkal dan awam, tapi saya juga merasa perlu untuk membaginya.
Kita tahu pemilu presiden dan wakil presiden periode ini meningkatkan keseruan sekaligus ketegangan antara dua kubu. Kubu satu dan kubu dua. Tegang karena saling menjatuhkan (menurut saya), dan ini menjadi hal yang lucu ketika ternyata sampai saat ini masih ada orang-orang yang sibuk melakukan hal tersebut seperti tak ada kegiatan lain yang lebih penting untuk dilakukan.
Menurut saya, kita memilih karena menilai bahwa pilihan kita lebih baik dari yang lain. Namun, sebagai pemilih, kita juga tidak bisa mengembangkan ego kita sendiri sekreatif mungkin karena itu akan membawa ke dampak yang berbahaya: saling menjatuhkan. Logikanya, ketika kita memilih A, maka kita akan mencari tahu sedalam-dalamnya tentang prestasi-prestasi A. Sebaliknya, kita akan cenderung mencari borok dan nanah si B, hanya untuk menguatkan keyakinan kita sendiri bahwa A adalah pilihan yang tepat. Itu cara termudah untuk membandingkan sesuatu. Yang saya heran, kenapa kita seolah menutup mata tentang kecacatan yang dimiliki oleh kubu yang kita pilih? Apa karena kita sendiri sebenarnya mudah goyah dengan pilihan kita? Ada yang bilang “jangan mau dibutakan oleh media”, tapi apa iya kita sendiri tidak terlalu buta merespon berita-berita yang dikeluarkan media?
Katakanlah, media V dan W mendukung penuh kubu kedua. Otomatis, mereka akan lebih mengangkat citra kubu tersebut dan mencari-cari cacat kubu pertama. Siapa yang bisa memastikan kalau baik-buruk yang diciptakan oleh media tidak mengandung rekayasa dan bersih dari unsur kepentingan politik? Sayangnya, kita percaya pada kekuatan yang memihak pilihan yang sama dengan kita. Kenapa tidak berusaha lebih terbuka terhadap kekurangan kubu sendiri, melainkan justru sibuk menanamkan fitnah dan berfokus pada kekurangan kubu lain? Toh kita semua tahu bahwa semua orang tak luput dari kurangnya. Siapa tahu keburukan-keburukan yang diberitakan lawan terhadap kubu kita adalah sesuatu yang benar, dan sebaliknya, prestasi kubu pilihan kita yang selama ini kita bangga-banggakan justru hanya tak-tik untuk menggoda? Saya cukup kecewa ketika tahu bahwa seseorang yang berkata “jangan mau dibutakan oleh media”, ternyata cukup buta juga sudut pandangnya.
Terbukti dengan kegigihan mereka untuk terus menikam lawan. Berusaha kritis menakar siapa yang lebih dosa dan tak layak. Menganalisis dan mengembangkan kekurangan lawan. Menyebarkan berita buruk di sana-sini. Yang saya tahu, mencari keburukan orang lain memang lebih nikmat dan menyenangkan, juga mengenyangkan emosi kita. Jika berdalih melakukannya untuk pemerintahan yang lebih baik, (ini yang menggelitik pemikiran saya) bukankah menjadi pemilih yang sportif dengan menerima kekalahan dan mendukung siapapun yang menang adalah jauh lebih baik daripada sekedar menjadi korban kekecewaan diri sendiri?
Itulah kenapa saya berpikir bahwa beberapa orang telah mengembangkan pemikiran kritis yang tak perlu. Pemimpin sudah terpilih. Masa pemilu sudah lama terlewat. Yang terpilih untuk memimpin, bukan lagi kubu lawan. Beliau memimpin kita. Kita semua satu kesatuan. Sudah bukan waktunya kalau kita sibuk mengatai pemimpin kita sendiri.
Apa kamu bisa memastikan bahwa jika kamu terus melakukan hal itu, maka pemimpin yang tidak kamu sukai akan lantas diturunkan begitu saja?
Apa kamu bisa memastikan jika pilihan kamu diangkat untuk memimpin kita—nantinya—akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang jauh lebih baik dan punya pengaruh yang signifikan untuk memajukan kita semua?
Apa kamu bisa memastikan bahwa keburukan-keburukan pemimpin yang kamu bagikan secara cuma-cuma bisa lantas membuka mata orang lain untuk kemudian memihak pilihanmu?
Apa kamu bisa memastikan? Tidak. Kita semua sama, tidak bisa memastikan apapun karena kita bukan Tuhan. Jadi, daripada sibuk mencerca, alangkah lebih baiknya kalau kita berkaca. Jangan jadi suporter yang bisanya hanya meneriaki kekalahan. Rusuh di media. Kalau kamu yang menjadi pemimpin dan turun ke lapangan, apa bisa?
Tindakan nyata apa yang bisa kita sumbangkan untuk membawa taraf kehidupan kita semua menjadi lebih baik? Apakah kita sudah menjalankan demokrasi dengan baik: memberi saran dan masukan yang membangun atas kebijakan yang kita anggap kurang sesuai, bukan menghina-hina dan menjatuhkan.
Pemikiran kritis itu perlu, tapi kita juga perlu berhati-hati menempatkan diri kita. Jangan mau mati konyol karena dipermainkan pemikiran kita sendiri. Barangkali kita memang perlu banyak berlatih menerima kekalahan dan berlatih menjadi pendukung yang baik. Demokrasi bukan alat yang bisa digunakan untuk sebebas-bebasnya menjatuhkan lawan.

Senin, 27 Oktober 2014

Menulis Tentang Kelahiran Blog dan Harapan-Harapan

Hari ini, 27 Oktober, bertepatan dengan Hari Blogger Nasional. Sebagai salah satu orang yang sudah menggunakan blog kurang lebih lima tahun, tentunya saya merasa beruntung bisa mengenal kecanggihan teknologi ini.
Untuk saya, membangun sebuah blog sama halnya dengan membangun rumah. Butuh kesiapan dan jangan setengah-setengah. Butuh modal yang besar, dalam hal ini niat dan keberanian, juga komitmen. Kenapa membuat blog menjadi hal besar seperti ini?
Saya suka menulis sejak SD dan berlanjut hingga SMA. Namun, selama itu, saya belum pernah benar-benar mempublikasikan tulisan-tulisan saya. Beberapa kali membuat blog dan tidak aktif, saya jadi merasa bahwa blog bukan media yang efektif untuk saya. Penyebabnya, karena beberapa tahun yang lalu koneksi internet tidak bisa didapatkan semudah saat ini. Selain cukup mahal, saya tidak punya banyak waktu juga untuk mondar-mandir ke warnet dan repot-repot mengurusi blog. Akhirnya, mengambil langkah kecil untuk mulai berani memposting tulisan-tulisan pendek melalui media Facebook. Saya pikir, akan selamanya media itu saya gunakan. Ternyata, hanya sementara.
Singkatnya, tulisan-tulisan saya dibaca teman-teman, lalu beberapa orang menyuruh saya untuk beralih ke blog. Karena, bagaimanapun blog adalah media yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang yang doyan menulis. Sempat menolak, karena takut nasibnya akan begitu-begitu saja. Tapi tak lama, saya yang lumayan impulsif ini akhirnya berubah pikiran juga.
Saya ingat, dulu, ketika mulai ngeblog, betapa besarnya tekad saya untuk berani mengambil keputusan. Keputusan untuk berkomitmen, untuk terus menjaga blog supaya tetap hidup. Supaya tidak ditinggalkan begitu saja. Supaya saya bisa tahu proses kreatif yang saya alami sendiri. Semacam rekam jejak. Di situlah, awal mula blog ini dibuat.
Dulu, saya bisa posting tulisan-tulisan pendek setiap hari. Iya, segitu produktifnya saya. Bagi saya pribadi, menulis itu terapi, coping strategy, katarsis. Sefiksi apapun tulisan yang berusaha saya sampaikan, ada unsur pelampiasan ketakutan, kecemasan, dan beban masalah yang ingin saya tranfer dari pikiran dan perasaan saya menjadi unsur-unsur implisit dalam beberapa kalimat. Walaupun, kualitasnya juga masih ecek-ecek (sampai sekarang pun masih). Menulis pengalaman pribadi, pikiran-pikiran random, dan lainnya. Tapi, apa yang orang katakan tentang practice makes perfect ada benarnya. Bagaimana bisa kita mencapai  kemampuan yang lebih baik kalau kita tidak terus mencoba memperbaiki kekurangan dan kegagalan yang kita alami sendiri? Walaupun kata sempurna seperti mustahil dicapai, tapi melalui blog ini saya sudah melewati proses panjang (dan tentunya ke depan akan masih lebih panjang lagi) untuk bisa terus dan terus berlatih dan memperbaiki tulisan saya. We’re the true editor for ourselves, right? Beruntungnya, saya adalah orang yang selalu jatuh cinta dengan yang namanya proses.
Semakin ke sini, saya sadar blog ini tidak ingin saya fungsikan lagi sebagai tempat menanam curhatan di sana-sini. Saya harus bisa menulis hal-hal yang apik dan menghibur untuk dibaca. Saya harus memindah visualisasi imajinasi saya ke tulisan agar orang lain bisa ‘melihat’ apa yang ada di isi otak saya. Saya harus menciptakan cerita-cerita baru yang tidak lagi sama, tidak bisa ditemui di mana-mana. Saya tidak ingin lagi terlalu mengeksiskan diri pribadi ke dalam blog, melainkan mengeksiskan karya-karya baru dan segar, tapi juga punya kualitas. Itu yang saya mau. Konsekuensinya, akan membutuhkan lebih banyak usaha untuk menelurkan ide-ide seperti itu. Tentunya, tak bisa lagi menulis seperti itu setiap hari. Untuk memunculkan ide yang cukup layak dibagi, saya percaya butuh waktu yang lama.
Di Hari Blogger Nasional ini, saya berharap bisa terus menghidupkan blog ini seperti ibu yang ingin terus mengasuh anaknya. Ada yang pernah bilang rejeki saya mungkin lahir dari blog ini. Kebenarannya sudah saya buktikan beberapa kali. Jadi, mana tega saya mogok menulis? Saya percaya, beberapa penulis besar juga hidupnya diawali melalui langkah-langkah kecil yang konsisten. Berlatih menulis, salah satunya.
Terakhir, terima kasih untuk Para Pembaca. Walaupun tak banyak, kalian-kalian sudah beri saya masukan, kritik, saran, pujian, yang terus membangun saya. Terima kasih sudah bantu share blog saya, terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca dan mengikuti tulisan saya. Selamat Hari Blogger Nasional!

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com