Kamis, 28 November 2013

Negosiasi

“Luka itu membuat seseorang menjadi lebih peka”
Ibu menuangkan teh hijau yang diseduhnya dengan daun mint, asapnya mengepul seperti amarah yang lama diredam. Segelas tanpa gula, disuguhkannya padaku yang baru datang untuk mampir sebentar.
Ibu lalu duduk di seberangku. Kedekatan kami hanya terbagi oleh meja rotan bundar di teras rumah. Hujan belum mau berhenti turun. Jaket tebal makin kurekatkan agar hangat terjalin di kulit-kulitku yang sejak kecil tak pernah betah dengan hawa dingin.
Sebuah pemantik berwarna ungu pastel diraih Ibu, lalu dibakarnya ujung sepuntung rokok. Sungguh Ibu selalu menyukai perpaduan yang aneh. Rokok dan teh, atasan merah dan bawahan kuning, kipas angin yang terus menyala di hari yang begitu dingin. Tak pernah ia menyukai hal-hal yang sepadan dan semestinya. Seperti juga…
“Kalau kamu belum pernah terluka, bagaimana bisa—suatu hari nanti—kamu mewaspadai sebuah luka akan datang,” lanjutnya lagi. Asap pecah-pecah keluar dari bibirnya yang menghitam. Entah dari mana Ibu memiliki keahlian menghisap rokok. Bahkan kakak lelakiku tak lebih mahir daripada dia.
“Tapi ini lain persoalan, Bu,” ujarku. Perkataan Ibu sama sekali benar, tak berhak disanggah. Tapi, Ibu tidak seharusnya mengatakan itu.
“Sama. Sama saja. Kesalahanmu juga melukai aku sebagai ibumu, Ras,” nada bicaranya mulai meninggi, entah menempati posisi tangga nada keberapa, yang jelas aku mulai tak suka. Diteguknya teh hijau yang asapnya sudah mulai kabur satu per satu. Seteguk saja, tak lebih. “Lantas kau minta Ibu untuk memberi maaf? Aku rasa, luka yang kamu tanamkan di hati ini, Ras, membuatku berhati-hati lagi untuk menerimamu kembali menjadi anakku.”
Ada gong yang begitu besar, seolah terpukul tepat di sebelah kedua telingaku. Gemuruhnya telak menggetarkan tak henti-henti. Luka yang merambat ke mana-mana, hingga ke dada ibuku hingga aku tak memiliki porsi lagi di hatinya. Negosiasi ini tak akan pernah berakhir. Aku tetaplah anak yang tak dianggapnya anak, sebab satu kesalahan besar telah kulakukan: mendurhakai Ibu.
“Rumah ini bukan tempat singgahmu lagi, Ras. Tak perlu kau sempatkan waktu sebulan-dua bulan sekali untuk mampir. Aku dan abangmu baik-baik saja,” begitu katanya lirih, semakin lirik di penghujung kalimat. Entah getar apa yang kutangkap dari bibirnya, mungkin tangisnya hendak pecah. Tapi aku tahu benteng setinggi apa yang menahannya untuk tak luluh begitu saja.
Tehku tak kucicip sedikitpun. Tas ransel besar kuraih cepat, berdiri segera meninggalkan tempat. Tak dibutuhkannya aku di sini. Langkahku berusaha berlalu cepat, sementara Ibu tetap diam kaku di tempat duduknya, menahanku pun tidak. Bersamaan dengan pergiku, seorang lelaki justru melangkahkan kakinya masuk. Kami bersisian, matanya menatap mataku. Mata yang sama dengan mataku, mata warisan Ibu.
“Aras, mau ke mana?” tanyanya sambil masih memayungi diri dengan kedua tangannya. Suaranya lamat-lamat, lirih tertelan deras hujan. Justru yang sanggup kudengar adalah lantang suaranya lima tahun silam, saat ia meneriakiku yang masih bersungut marah usai menampar Ibu yang mengataiku pelacur.
Pada kenyataannya—ya—aku ini pelacur.
Siapa lebih dulu melukai siapa, entah.
Langkahku berlalu pergi, lebih cepat lagi.


Jumat, 22 November 2013

Erythrura Gouldiae

Pada beberapa pagi, ia berkicau dengan tulus hati. Sayapnya terkepak, warna-warni, seperti bunga-bunga bermekaran yang hendak pamer kecantikan. Pindah ke dahan satu, dahan yang lain. Tak henti-henti.
Begitu saja sampai siang.
Oh mungkin hatinya sedang riang. Hanya dia dan Tuhan yang tahu kelopak jenis apa saja yang sedang berkembang-kuncup di hatinya.

Jumat, 15 November 2013

Terjebak

Istriku tidak boleh melahirkan waktu libur panjang. Aku tak akan senang jika aku dikabari untuk segera pulang karena calon bayiku mendesak keluar pada hari-hari libur panjang. Aku—bapaknya—akan sangat kerepotan.
Kerepotan terdorong-dorong antrian panjang membeli tiket kereta api.
Kerepotan kalau-kalau tiket kereta api habis dilahap orang-orang yang hendak bertamasya ke luar kota.
Kerepotan kalau harus menunggu beberapa hari lagi untuk mendapatkan tiket kereta menuju kampung halaman.
Harusnya, istriku tidak boleh melahirkan waktu libur panjang.
Sudah lima hari ini aku kehabisan tiket kereta.

Dua hari yang lalu, anakku keluar dari rahim ibunya, tanpa sosok lelaki panutan nomor satu yang merangkul dan mengadzaninya.

Selasa, 12 November 2013

Hari Untukmu

Halo, Pa.
Beberapa malam lalu, kita sudah jalan-jalan dan makan durian bersama, ke bioskop lalu tidak menonton apa-apa kecuali menonton malam. Tidak berbagi cerita apa-apa kecuali berbagi diam. Berdua saja. Sepi.
Tapi hangat. Hangat yang sudah begitu jarang.
Selamat hari Ayah, Ayah kebanggaan nomer satu!

Jumat, 01 November 2013

Pesan Suara

Ia menulis suara-suara dalam amplop kecil putih yang tak lebih besar dari telapak tangannya. Sudah sebanyak empat puluh tujuh suara ia tuliskan dalam empat puluh tujuh amplop. Lalu disimpannya dalam sebuah kotak plastik kecil. Orang yang menyaksikan pilunya ia menulis belakangan ini akan paham, bagaimana besar rindunya perlu ia tumpahkan dalam surat-surat suara.
Laranya berkepanjangan. Dunia yang diketahuinya pada awal kelahirannya telah begitu banyak berubah. Belakangan ini orang makin jarang menggunakan bibirnya untuk bercakap dan menyediakan telinganya untuk mendengar. Semua orang memilih sibuk sendiri, apatis terhadap kaki-kaki yang lalu lalang di harinya masing-masing. Benda mati lah yang kini lebih sering bersuara. Engsel pintu yang dibuka, halaman-halaman buku cerita yang dibalik pembacanya, cangkir yang terantuk dengan meja ketika diletakkan, dan lain-lain.
Ia gusar. Sudah begitu lama ia tak mendengar suara anak dan suaminya. Dan ayah ibunya. Juga kakak adik dan sanak saudara lainnya. Mereka berjumpa fisik, namun tak ada hidup lain yang dibagi untuk masing-masing. Bertatap muka sekenanya, lalu lebur kembali dalam sunyi.
Surat-surat suara itu ia susun tiap malam, sejak empat puluh tujuh malam terakhir ia merasakan kerinduan yang begitu besar terhadap bagaimana orang-orang terdekatnya berbicara. Sudah terlalu lama dunia hening, dan hatinya merasa begitu sepi.
Besok, ia hendak pergi ke kantor pos, mengirim amplop-amplop kecil itu untuk empat puluh tujuh orang yang dirindunya. Bahkan untuk anak dan suaminya yang tinggal seatap bersamanya. Berharap, ketika surat-surat suara itu diterima dan amplop dibuka oleh yang tertuju, suaranya akan terdengar lirih menggetarkan.
“Ceritakan padaku banyak hal, aku rindu suaramu”



Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com