Senin, 30 September 2013

Luruh


Rindu yang panjang, seperti kereta api yang hendak membawaku pulang. Pada jalurnya yang berkelok-kelok, pada kecepatannya yang konstan dan tak dapat dihentikan sering-sering. Ah, sudahlah. Memang nampaknya segala sesuatu yang telah dikemas, harus selamanya berada di sana tak peduli selama apa waktu akan membungkusnya.
“Kamu akan dibawa sejauh apa?” tanyamu kemarin malam, mengamatiku bergegas memasukkan barang-barangku ke dalam sebuah koper cokelat besar.  
Aku mengerdikkan bahuku, pertanda entah. Ketidaktahuan atas rencana-rencana yang direncanakan Tuhan. Rencanaku hanya bagian kecil yang tak penting dan tak akan merubah lihainya takdir-takdir Tuhan yang telah terancang rapi.
“Kamu bisa, kan, kembali lagi?” tanyamu lagi, gerikmu gelisah.
“Bisa, mungkin. Tunggu kabar saja”
“Jangan begitu, katakan sesuatu yang pasti”
“Tapi bisa saja aku tidak kembali”
“Pasti bisa”
“Sudah. Jangan khawatir”
Malam runtuh pelan-pelan. Seperti tembok yang terkikis masa, mulai mengelupas dan tak lagi sama. Kau menghabiskan tehmu sementara aku tak kunjung selesai berkemas. Barangku di rumahmu ada banyak sekali, berjejasl di setiap lemari.
Puntung-puntung rokok, pakaian dalam, sisir, kosmetik, biscuit sisa sebulan lalu, lego-lego kecil.
“Jangan semua kau bawa”
“Tak apa. Biar mereka tak menjadi bebanmu”
“Beban apa? Barang-barang kecil itu”
“Kalau aku tidak kembali, kamu akan melihat barang-barang ini tiap hari di rumahmu. Kamu akan sedih”
“Pasti kembali”
Pernah kau dengar tentang kepercayaan yang kabur? Larinya cepat sekali, seperti enggan ditemui lagi. Bukan padamu kesalahan terjadi. Padakulah. Semua orang, setelah ini, berhak menyalahkanku. Menyalak-nyalak mencaciku, menginjak-injakku di depanmu.
“Bagaimana kalau kita pergi sama-sama?”
“Tidak bisa”
“Aku bisa. Pasti bisa”
Aku menatap matamu yang bersungguh, seperti membaca kitab dalam waktu singkat, kutamatkan cepat-cepat bagaimana caramu memandangku. Mata yang sayu itu. “Tidak bisa” ucapku lirih.
“Ayo, menikah saja”

***

Kereta ini membawaku pergi. Jauh sekali.
Rindu ini masih saja berpulang padamu.
Sedang seorang pria menungguku dengan sabar di penghujung keretaku berhenti.

***

“Pernah kau dengar sebuah cerita tentang kepercayaan yang kabur? Larinya cepat sekali, seperti enggan ditemui lagi”
“Cerita dari mana?”
“Baru saja kubuat. Kamu harus mendengarnya”
Burung hantu bersemedi di ranting-ranting pohon. Kau mengecup dahiku sebelum terlelap mendengar ceritaku. Besok, aku menjadi kepercayaanmu yang kabur jauh.

Sabtu, 28 September 2013

Bunga Alamanda


Bunga alamanda kuning, terkatung-katung, terantuk di udara, menggantung seperti gaun-gaun peri yang hendak belajar terbang. Gagal, masih tergantung. Pada tangkai-tangkai hijau. Pada apapun yang menahannya.


Kamis, 12 September 2013

Koloni


Koloni-koloni itu, menyerbu tanpa ampun.
Sementara aku memohon-mohon ampun untuk tak diserbu.
Hidupku selesai begitu saja.


Dua Dekade


Pada satu dekade lalu kau memuja habis-habisan musik-musik klasik Frank Sinatra dan pada satu dekade berikutnya kau lebih memilih setia memuja habis-habisan istrimu yang baru melahirkan satu anak yang tampan dan terlihat mirip denganmu.
Ada Tuhan yang iri sambil menunggu untuk kau puja habis-habisan selama dua dekade.  

Sebuah Pagi dalam Satu Kalimat


Lelaki yang tinggal di jalan akasia nomor tiga puluh tujuh itu tiap pukul tujuh lewat tiga puluh lima menit pagi selalu meletakkan radionya di dekat jendela yang berbatasan langsung dengan teras depan rumahnya dan menyalakan lagu keras-keras sambil ia membersihkan debu-debu yang sedari malam tadi pelan-pelan tertiup angin lalu jatuh ke perabotan rumahnya.


Selasa, 03 September 2013

Bangun Pagi

Halo, Pa.
Dulu sekali, bukankah kita hobi bangun pagi? Lalu jalan-jalan yang agak jauh, berburu tiwul enak tak lama setelah matahari mulai naik. Tak lama setelah kota menjadi agak lebih terang dari menit-menit sebelumnya.
 Dulu sekali, bukankah Papa bilang, olahraga itu penting. Supaya aku tinggi dan sehat. Di ulang tahunku yang ke—entah, aku lupa—Papa belikan aku sepeda yang tinggi untuk orang besar. Tiap Minggu pagi, dulu sekali, Papa bangunkan aku pagi-pagi, menyuruh bersepeda. Biar tinggi, katanya.
Papa, dulu sekali. Papa sering ajak aku jalan-jalan. Udara pagi bagus sekali. Matahari terbit sewajarnya. Mungkin sangat cantik, layaknya matahari terbit di foto-foto itu. Mungkin sangat memukau. Tapi saat itu aku tak terlalu peduli. Lebih penting udara paginya dan jalanan masih begitu sepi, bukan pukul berapa matahari terbit atau bagaimana anggunnya benda itu merayap naik pelan-pelan di jauh sana.
Papa, pagi tadi, aku bangun pagi-pagi sekali. Sebenarnya, hanya demi bisa mengambil foto matahari terbit untuk hiasan di Instagram. Maklum, aku susah bangun pagi, Papa tahu itu, kan?
Dan, Pa, tahu tidak? Cantik sekali. Terbitnya—ternyata—cantik sekali. It reminds me of you and our Sunday morning hours. Am I too old to hope that I could turn back the time? Lalu kita jalan-jalan pagi lagi. Lalu aku tamatkan sungguh-sungguh bagaimana matahari terbit setelah subuh.
Bukan asal jalan.
Bukan asal bersepeda.
Bukan asal-asalan tak menikmati waktu-waktu saat aku masih bisa bersama Papa.
Yang aku sesali, aku tak pernah merekam sungguh-sungguh semua pembicaraan kita, kecuali di bulan-bulan terakhir hidupmu.
Malam lalu, akhirnya Papa datang di mimpiku ya, Pa. Mengemas semua barang dalam koper-koper besar, lalu pergi jauh.
Pa, kamu sudah terlalu jauh meninggalkan kami. Di mimpi saja, jangan pergi lagi.

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com