Jumat, 26 Oktober 2012

Tolong


Lalu kita lebur ke dalam perangkat cahaya emas keperakan yang menerpa air-air di surga kecil yang mereka sebut sebagai laut. Dihempas ombak, digerus karang, dijejal asin.
Kau lupa, aku lupa, aku tak bisa berenang.
Lalu aku tenggelam.
Dan kau masih terlalu asyik menyelam.
Ah, kalau saja mesin waktu nyata adanya, aku akan menolak ajakanmu berenang. Menolak ajakanmu ke pantai. Menolak kebaikanmu. Menolak perkenalan kita. Menolak jatuh cintaku.
Aku mendarat di dasar laut dalam gerakan lambat. Gaunku basah tersentuh jutaan liter air yang memelukku. Aku terjun bebas. Karam bersama perahu nelayan. Dan suaramu lamat-lamat menggema dalam ingatanku. 
Kau bilang, kau akan setia.
Aku sedang tenggelam, kau sedang bermain-main.
Sampah. 

Selasa, 23 Oktober 2012

Satu Menit Saja

Tuhan, mungkin ini adalah doa yang begitu sepele dari ratusan triliyun doa penting hari ini yang harus Kau pilah satu per satu untuk masuk dalam prioritas-Mu.
Begitu banyak yang aku syukuri hari ini, Tuhan. Begitu banyak kelucuan yang membuatku tertawa hingga menangis dan sakit perut. Bulir-bulir kunyahan mi ayam turut berloncatan, bersama tawaku yang semburat. Aku dikelilingi orang-orang yang tak pernah gagal menyenangkanku. Aku dikelilingi manusia-manusia pengundang bahagia.
Tapi, Tuhan, tawa-tawa ini kering. Tak kau turunkan lagi dia ke dalam mimpiku. Dia yang aku harap bisa tertawa bersamaku, menikmati pertumbuhanku dalam kebahagiaan yang tak pernah luput dari harapnya bertahun-tahun lalu.
Tuhan, dia baik-baik saja, kan? Rindu ini tak pernah mengempis seperti balon kehilangan udaranya. Hadirkan dia, hadirkan dia, hadirkan dia. Titip Papa baik-baik di Sana, supaya bisa Kau pertemukan aku dengannya dalam keadaan baik-baik pula.

Sabtu, 20 Oktober 2012

Nyawa Bertaruh


Nafas kami memburu. Sebab kami merupakan cerminan lelah yang bergulir pada detik-detik yang munafik.
Kami adalah dua pesakitan yang tengah berbaring dalam ranjang masing-masing, tak ditunggui keluarga bahkan seekor cicakpun. Pura-pura tak peduli, padahal tahu seluk-beluk luar-dalam satu sama lain.
Kami dibalut dosa yang sama. Jika hidup serupa perjudian, deru nafas kami sedang bertaruh nyawa, menebak-nebak siapa yang akan mati duluan. Kau, atau aku.
Melihat lebam di mata dan bibirmu, seta bias biru di kedua pipimu, tampaknya kau tak akan betah hidup lebih lama lagi. Tampanmu memudar. Kau tak ubahnya mumi yang tangan dan kakinya terbalut. Kaku dan pasrah.
Sedang aku, tampaknya aku juga telah bosan hidup lebih lama. Luka bacok di sana-sini pertanda aku tak lebih kuat dari sebuah mentimun yang dapat dengan mudah tertebas begitu saja oleh tajam mata pisau.
Kami sama-sama berusaha mati lebih dulu. Kami sama-sama tak sanggup lagi terus-menerus menelan ludah membayangkan jeruji besi yang kelak membatasi hidup kami. Berserah diri, atau berserah nyawa. Kami takut akan keduanya. Tapi kami sedang dipermainkan oleh gagasan kejahatan yang berimbas pada diri kami sendiri.
Di depan kami, pria berjubah hitam sedang bingung menentukan akan memenangkan nyawa siapa dalam taruhan kali ini.

Senin, 15 Oktober 2012

Tidak Cukup


Saya kurang mengikuti perkembangan musik, memang. Apalagi live performance suatu band. Selain karena faktor spasial yang kurang memadahi untuk tahu arah dan jalan ke suatu tempat sehingga kurang memungkinkan untuk menyaksikan konser di tempat yang jauh dari jangkauan, saya juga jarang kekurangan informasi tentang acara gaul seperti itu. Tapi, jarang mengikuti bukan berarti tak pernah. Ketika saya berada di tengah padat penonton yang tengah menyaksikan pertunjukan musik band atau penyanyi solo terkenal, yang harus saya lakukan adalah menyaksikan aksi panggung mereka dan leloncatam di tengah dentuman musik, atau minimalnya saya harus bisa ikut menyanyikan lagu mereka.
Ini klise, memang. Tapi saya sebal sekali sama orang yang rela gerah menghadiri konser musik, tapi hanya puas menyaksikan dari layar. Saya sebal sama orang yang tak tahu lagunya tapi bisa mendapatkan posisi stategis di depan stage. Saya sebal sama orang yang tak meloncatkan badannya tinggi-tinggi ketika euforia untuk mereka mengekspresikan diri dengan cara seperti itu telah terfasilitasi.
Saya dan beberapa orang teman baru saja menyaksikan aksi panggung Sheila On 7, salah satu band favorit saya dari dulu. Kami terlambat dan kehabisan tempat jauh sebelum pertunjukan dimulai. Padat sekali. Riuh orang-orang berdiri dan menunggu. Teman-teman laki-laki saya mencarikan jalan untuk mendekati stage. Keringat bercucuran, pakaian kami basah. Saat Sheila On 7 telah menyanyikan beberapa lagupun kami masih mencari jalan sambil komat-kamit ikut menyanyikan lagu yang mereka bawakan, sampai akhirnya kami mentok hanya dapat menikmati dari layar di sisi kanan panggung.
Saya harus ke depan. Saya harus ke depan, begitu terus pikir saya. Tak akan sulit menerobos begitu banyak orang dengan keringat bercucuran demi menyaksikan sesuatu yang memang worth it. Maka saya maju sendiri, meninggalkan teman-teman saya di belakang. Saya tidak akan pulang dengan rasa puas hanya menyaksikan mereka dari layar. Saya pendek dam mata saya minus. Maka yang harus saya lakukan adalah memosisikan diri saya pada suatu spot untuk dapat menyaksikan aksi panggung mereka secara nyata.
Saya terus maju meski teman saya menarik bahu dan berkata "Cukup, jangan maju lagi". Tapi "cukup" itu belum benar-benar cukup untuk saya. Sampai, saya berhenti di balik punggung orang-orang asing yang sudah jauh dari teman-teman saya. Ini baru cukup. Saya bisa menyaksikan Sheila On 7 lebih dekat, bukan hanya dari layar. Tepat saat mereka membawakan lagu terakhir di Jatim Fair, Melompat Lebih Tinggi.
Iya, itu yang saya harapkan. Crowd di sekeliling saya begitu hidup. Mereka melompat tinggi tanpa takut terinjak, bergoyang mengikut tempo. Mereka melambaikan tangan ke atas, bebas. Mereka berteriak mengikuti lirik-lirik. Dan menjadi salah satu bagian dari bagaimana-konser-seharusnya pada lagu terakhir adalah seperti perwujudan sebuah doa. Akhir yang memuaskan.
As my Mom's ever said, "Kamu jadi orang jangan gampang menyerah", pada situasi sesepele sebuah konser musikpun saya tak mau menjadi ada di baris belakang dan menerima posisi saya apa adanya sejauh apa yang bisa saya tangkap. Dan seingat saya, saya selalu melakukannya pada setiap konser penyanyi favorit saya.
Ini kejadian yang begitu sepele. Tapi saya melihat bagaimana saya melakukan sebuah proses, pelajaran penting untuk saya di waktu-waktu yang akan datang. Saya manusia. Saya tidak pernah puas. Dan itu menuntun saya pada doa dan pengabulan harapan. Because, if you want it, just go straight for it. As simple as that.

Kamis, 11 Oktober 2012

Syukur


Ada yang meleleh di antara butiran peluh yang satu-dua mampir di keningnya. Menyusup menyerupai letih, tapi bukan. Adalah syukur, lelehan air yang jatuh tak pernah sendiri dari langit.
Syukur atas kemarau panjang yang menghabisi rimbun dedaun di pepohonan. Syukur atas rindu bumi kepada aroma  tanahnya yang mengudara. Syukur atas beribu-ribu detik yang melaju tanpa ampun dengan segala keluh gerah manusia-manusia kepanasan.
Ada yang meleleh, menyusup menyerupai letih, tapi bukan.
Di balik senyum yang berpayung, Pak Tua pulang mendorong gerobak yang penuh pundi-pundi rezeki sehari. Pulang pada kesederhanaan.

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com