Rabu, 20 Juni 2012

Pendosa


Ini adalah dunia baru. Tempat di mana aku dikata berdosa ketika menerjemahkan rindu dalam kosakata yang berlebihan. Maka aku adalah pendosa terlihai. Merindukan kepak-kepak elok kenangan dalam diam. Membiarkannya merambati jutaan sel darah, merasuki tiap nadi. Aku merajuk rinduku untuk lepas dari raga. Karena, siapa kau hingga perlu kuracaui rasa ini hingga menahun?
Aku tak pernah lagi mengaisi masa lalu. Tapi, mengais adalah serupa yang tak sama dengan menangis. Pekat rindu ini seperti serbuk teh yang kubiarkan mengendap terlalu banyak, terlalu banyak. Butuh lebih dari tiga sendok teh gula untuk mengacaukan pahitnya. Dan toples gulaku kosong tak bersisa.
Ketika bara adalah satu-satunya cara menghanguskan rindu hingga tak bersisa, maka, di dunia ini, telah kuseduh rinduku dengan bara neraka bersama hati dan jiwaku. Luluh lanta. Mengabu dan beterbangan menjadi debu. Tapi, masih saja aku mengharap debu-debu itu akan sampai pada rumahmu. Biar kau baca dalam sunyimu. Biar menghentak denyut jantung di dadamu. Biar kau sadari betapa aku rela mengorbitkan kepercayaanku pada sebuah karma.
Aku malu pada bahagia lain yang menungguku pulang. Sedangkan ketidakhadiranmu di pintuku membuatku enggan menapaki kembali definisi bahagia. Lagipula, dosaku telah mengubun, membuncah membawaku pergi ke langit yang entah lapisan keberapa.
Tuhan, telah Kau jatuhkan aku ribuan kali. Telah Kau ajarkan aku bagaimana cara menangis untuk menjadi kuat hingga bagaimana harus kususun sendiri retakan-retakanku. Sekali saja, peluk aku. Sekarang juga, sebelum kau nerakakan aku. Karena aku adalah pendosa yang menyimpan rindu berlebihan dibalik serpihan yang telah kususun rapi.

Eiffel


Kamu masih sibuk di dekat jendela. Sibuk dengan tumpukan gambar Eiffel yang kau dapatkan dari internet, majalah, bahkan kaus murah bergambar Eiffel yang kau beli di penjaja pakaian bekas di pinggir jalan untuk kemudian kau gunting begitu saja bagian Eiffel-nya. Jari-jarimu yang panjang dan lentik—yang kata banyak orang itu adalah jari seniman—lincah menata satu per satu gambar pada satu kayu tipis yang begitu lebar, kau jadikan kolase foto Eiffel.
Ah, kau tertarik juga akhirnya pada Eiffel yang kuagung-agungkan. Dulu, kamu bilang bentuknya seperti sutet. Konyol kalau harus jauh-jauh ke Paris untuk lagi-lagi menikmati sutet yang di Indonesia pun bertebaran pada setiap titik daerah di dalam peta. “Kita sudah punya ribuan Eiffel,” katamu.
Aku tersenyum sendiri, pipiku menghangat. Entah efek dari uap panas secangkir teh yang sedang kutiup pelan untuk menurunkan suhunya, atau karena aku senang. Rasanya ulang tahunku masih lama, tapi begitu telaten kau mempersiapkan kado itu. Mungkin akan kupajang di kamar tidurku, berseberangan dengan jendela, biar kalau matahari datang, sinarnya menabrak langsung kolase foto Eiffel darimu biar makin terlihat seksi. Rasanya aku tak peduli lagi apakah aku akan benar-benar bisa ke sana atau tidak. Aku punya banyak Eiffel di kamar darimu!
Norak.
Aku kembali meniup teh yang belum juga dingin. Kalau itu bukan untukku, lantas untuk siapa? Aku bertanya sendiri dalam hati, mencoba menerka tiap kemungkinan. Tak sulit, karena sejauh yang aku tahu, aku adalah satu dari satu-satunya perempuan yang sedang dekat denganmu. Yang kau undang tiap hari ke rumahmu untuk menjadi pencicip pertama percobaanmu di dapur, untuk menjadi orang yang paling rewel melihat baju kotormu berserakan di mana-mana, untuk menghabiskan waktu menonton banyak DVD hingga ketiduran, untuk... oke, kolase foto itu pasti untukku!
Aku tersadar lagi. Ini seperti mimpi berlapis di mana aku harus hilang dalam lamunanku, lalu bangun, lalu melamun lagi.
“Kamu kenapa?” tanyanya sambil tertawa pelan.
“Eh, nggak papa,” jawabku cepat. Wajahku pasti kikuk. Baiklah, sebaiknya aku menamatkan penasaranku. “Itu buat siapa?”
Dia tersenyum. Dia pasti malu menyebut namaku. Setelah ini, dia pasti menyamarkan aku sebagai tokoh utamanya.
“Buat... yang kemarin nonton bola sama aku” jawabnya malu-malu.
Bola? Aku bahkan hanya tahu kalau sepak bola dimainkan oleh dua tim yang masing-masingnya berjumlah sebelas orang. Itu saja, tidak lebih. Apalagi untuk tertarik mengikuti pertandingan sepak bola sampai ke stadion. Jadi, oke, pendapatku gugur. Bukan aku orangnya. “Siapa?” tanyaku parau.
Dia tersenyum lagi. Menyebalkan.
“Yang jemput aku, yang kemeja biru, kamu tahu kan? Dua hari lagi dia ulang tahun, dan rencananya ke Paris harus ditunda karena beberapa hal. Ini kado yang tepat kan?”
Aku melongo di tempat. Badanku ditopang kursi kayu jati lengkap dengan sandaran punggung dan dua lengan, tapi badanku serasa lunglai hampir jatuh.
Bagaimana aku bisa tidak menyadari orientasi seksualnya selama ini? Bahwa dia gay.
Aku merunut semua waktu yang kita lalui bersama dan bagaimana aku merasa begitu istimewa dengan segala perlakuan manisnya. Aku patah hati seketika. Tapi tidak sesakit drama. Ini konyol.
Yeah, gay is a girls’ bestfriend, right? And I’m the one and only of that silly girl who was fell in love with that gay.
“Ya, tepat!”

Senin, 18 Juni 2012

Halo, Tolong Saya!


Halo!
Sudah lama ya nggak ngeblog. Beberapa bulan ini memang nggak produktif, di samping lagi banyak kesibukan dan tugas, laptop yang ngadat juga cukup membuntu pikiran saya. Sumpah, saya sedang ada di posisi minim ide.
Saya lagi proses nulis beberapa cerpen juga, tapi masih stuck untuk menentukan plot dan ending-nya. Jadi, di sinilah blog saya mulai berdebu dan banyak sarang laba-labanya. To be honest, kangen sekali bisa kayak dulu yang tiap hari bisa punya satu tulisan untuk di-posting.
Nah, buat kamu yang baca posting-an ini, tidakkah kamu berniat menantang saya, atau setidaknya ngasih ide untuk menuliskan sesuatu lagi di blog ini? Semacam #15HariMenulisdiBlog atau #30HariMenulisSuratCinta yang pernah saya lakukan beberapa bulan lalu, atau sesederhana memberi saya satu tema atau satu pertanyaan menarik untuk ditulis. Saya pasti akan senang menerima tawaran seperti itu.
Iya, saya butuh kamu, Pembaca. Jangan cuma jadi silent reader. Idemu pasti akan sangat membantu saya.

Minggu, 03 Juni 2012

Koran Pagi


Jejakmu terbaca, seperti kaki-kaki angin yang menapak dan menyeret lembut sisir pantai. “Apakah ini sebuah kontes pelarian?” tanyaku pada jejakmu. Kau berlari tunggang langgang menghindari entah apa di belakang, sementara tak sebutirpun keringat bercucuran dari ragamu yang tak kasat mata.
“Lelahkah?”
“Ya”
“Apa yang kau hindari?”
Lantas kau menunjuk segenggam atmosfer abu-abu di sana, yang tak enggan melambaikan tangannya mengajakmu kembali. Pedih. Perih.
Seperti mimpi saja, latar kita berpindah, di atas rooftop gedung tua yang menyisakan abu dan debu yang nyata mengudara seperti titik-titik noise pada foto lama. Kau bergerak di tepian, dengan hembus angin yang mengobrak-abrik air matamu yang berderai. Tanganmu kau rentangkan. Dan tanpa aba-aba kau loncat begitu saja sedang aku masih kaku menyaksikan ketidakmampuanku menahanmu.
Kau menerjang gravitasi dengan gerakan lambat. Lamat-lamat kusaksikan bibirmu bergerak mengucap satu kata mirip “maaf” dengan suara yang tertelan oleh udara.
“Tidakkah ini tipuan?” tanyaku perlahan. Kuharap akan ada detik-detik di mana parasut akan mengembang dari balik punggungmu dan menghentikan ketakutanku.
Ternyata, tidak.
Seperti mimpi saja, latarku berpindah, di atas ranjang yang asing dengan satu eksemplar surat kabar di sisi kanan bantal. Ada namamu, di headline koran pagi ini. Tewas.
Jadi, itu mimpi, atau bukan?
Apa yang kau hindari?
Maaf untuk apa?
Tangisku pecah berhamburan.



*sambil mendengarkan denting-denting sendu dari Lorelei

Jumat, 01 Juni 2012

Patung

 
“Harusnya cerita ini bisa berakhir lebih bahagia 
tapi kita dalam diorama”



Kita berdiri bersisian. Begitu kaku.
Kau cantik sekali hari ini. Berbalut kimono merah dengan bedak tebal pucat. Bibirmu juga kau poles merah. Tapi, tidakkah kecantikanmu terlalu unik untuk kau hadirkan di pernikahanku yang beradat Jawa?
Mempelai perempuanku, sedang entah di mana. Duduklah aku di sini, sendiri berpakaian jarik dan rangkaian kembang melati yang menggantung di leherku, juga keris yang menancap di balik punggungku. Aku mempelai pria yang sendiri.
Mereka menyisakan kita berdua yang canggung. Kau diam begitu, dan aku tak bisa berhenti menebak mengapa kau tiba-tiba diletakkan di sini, di malam ini ketika aku resmi beristri, sedangkan kau adalah satu nama dari satu-satunya daftar kenalan yang tak kuundang.
Aku lupa masa lalu kita, bagaimana kita pernah merajut satu demi satu benang pintal warna merah hati dalam satu masa di mana kau dan aku masih ber-“kita”. Seolah Tuhan menakdirkan kita untuk berhenti pada akhir yang tak berawal. Mungkin karena aku pria Jawa dan kau gadis Jepang, hingga bersatu bukanlah takdir yang tepat. Atau karena kau berkulit putih bak kertas yang masih bersih, sedangkan aku berkulit cokelat seperti amplop lamaran kerja yang terbakar, hingga kita tak layak berdampingan. Entahlah.
Kita masih berdiri bersisian, begitu kaku.
Kau masih dingin, aku melirikmu sesekali, entah sudah berapa kali. Untuk apa kau hadirkan diri hari ini, Sayang? Kau racun yang membahayakan. Aku bisa terpikat oleh candumu, lagi dan lagi. Dengan kimono merahmu yang mengalahkan keanggunan busana Jawa mempelai wanitaku, tak adakah pria yang mengamit lenganmu dalam altar pernikahan?
Kalau begitu, bagaimana kalau aku saja? Istriku belum kembali. Biar untuk sebentar menit ke depan, kau yang berdiri di sisiku, menjadi pengantinku.



*terinspirasi dari lagu Tulus, Diorama

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com